Kabar Bantaeng– Kasus pernikahan antara Rusli, Warni, dan Kasma di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang sempat viral di media sosial, kembali menjadi bahan perbincangan publik. Di tengah ramainya opini dan komentar warganet, peristiwa ini justru membuka ruang refleksi mendalam tentang pentingnya legalitas dalam perkawinan—terutama bagi perlindungan perempuan dan anak.
Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PMD-PPPA) Kabupaten Bantaeng memandang kasus tersebut bukan sekadar kisah viral, melainkan cermin sosial yang menunjukkan masih lemahnya pemahaman sebagian masyarakat terhadap aspek hukum dalam perkawinan.
Pernikahan Sah Agama Belum Tentu Sah Secara Hukum
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bantaeng, Sitti Ramlah, menegaskan bahwa pernikahan yang dilakukan hanya berdasarkan agama tanpa pencatatan negara berpotensi menimbulkan berbagai konsekuensi serius—baik dari sisi sosial, hukum, maupun psikologis.
“Legalitas pernikahan bukan hanya soal formalitas administratif. Ia merupakan bentuk perlindungan hukum bagi kedua belah pihak, terutama bagi perempuan dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut,” ujar Sitti Ramlah, Senin (20/10/2025).
Ia menjelaskan, pencatatan pernikahan adalah bukti pengakuan negara atas status hukum pasangan suami istri. Tanpa pencatatan, perempuan sering kali berada pada posisi rentan—terancam kehilangan hak-hak dasar seperti hak waris, nafkah, maupun pengakuan terhadap anak yang lahir dari perkawinan itu.
“Kasus viral ini menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Sah secara agama belum tentu berarti terlindungi secara hukum. Negara hadir untuk menjamin keadilan, dan legalitas perkawinan adalah bagian dari perlindungan itu,” tegasnya.
Warni dan Kesadaran Perempuan akan Hak dan Martabat

Baca Juga: Bupati Bantaeng Usulkan Dua Jembatan dan Satu Jalan Lingkar Pantai
Dari peristiwa yang ramai diperbincangkan itu, langkah Warni—yang akhirnya memilih mundur dari pernikahan tanpa pencatatan resmi—dipandang sebagai tindakan berani dan penuh kesadaran hukum. Menurut Bidang PPPA, keputusan tersebut bukan hanya soal status, tetapi juga bentuk pemulihan martabat dan kendali diri seorang perempuan.
“Dalam konteks pemberdayaan perempuan, tindakan itu bukan semata persoalan status, tetapi langkah untuk mengambil kembali kendali atas hidup dan melindungi diri dari stigma serta ketidaksetaraan. Kami mendorong semua perempuan untuk berani memperjuangkan hak-haknya dan tidak terjebak dalam relasi yang merugikan,” jelas Sitti Ramlah.
Langkah Warni dianggap mewakili banyak perempuan lain yang mungkin berada dalam situasi serupa—terjebak dalam relasi poligami atau pernikahan tanpa perlindungan hukum yang sah.
Poligami dan Kerentanan Sosial Perempuan
PMD-PPPA juga menyoroti bahwa praktik poligami tanpa pencatatan negara membuka ruang bagi kerentanan sosial dan psikologis yang tinggi bagi perempuan. Tanpa status hukum yang jelas, seorang istri dalam poligami kerap kehilangan hak atas nafkah, hak waris, serta pengakuan sosial sebagai istri sah.
Untuk itu, Bidang PPPA melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA Butta Toa) siap memberikan pendampingan psikologis dan konseling keluarga bagi pihak-pihak yang terdampak kasus ini.








